![]() |
||
Postingnya kok sulitnya.
Seandainya Bukan Karena Perempuan dan Ghanimah?
Rabu, 16/06/2010 11:38 WIB | email | print | share
Ruhul jihad yang membara di setiap dada para mujahid. Mereka hanya mendambakan upah dari Rabbnya. Surga. Di pelupuk mata para mujahid itu terbayang indahnya janji Allah Azza Wa Jalla, yang sangat menyenangkan. Mereka berlomba mendapatkannya. Siang malam para mujahid berperang melawan orang-orang kafir, tanpa henti-henti. Mereka berlomba menyosong datangya kematian, yang akan membawanya kepada kemuliaan di sisi-Nya.
Akhirnya, daratan Eropa dikenal dengan ‘Balad Syuhada’ (tanah bagi para syuhada), karena banyaknya para mujahid yang syahid di daratan itu. Para mujahid yang gagah dan berani, serta ikhlas, mereka mendambakan janji dari Rabbnya, terus maju, memasuki jantung Eropa, itulah sekelumit kisah para Tabi'in, yang ditulis oleh Abdurrahman Rafat Basya.
Semangat jihad yang belum pernah dalam sejarah penaklukan. Kecuali saat itu. Hampir seluruh daratan Eropa menjadi miliki umat Islam. Karena kecermalangan para pemimpinnya, dan ketangguhan para mujahid, yang berperang dengan pasukan Eropa. Mereka memenangkannya. Spanyol dan Perancis telah takluk. Perjuangan mereka terus memasuki daratan Eropa, hingga menjelang Jerman.
Kemenangan pasukan Islam, saat Bani Umayyah dipimpin oleh Umar bin Abdul Aziz. Usai pemakaman pamannya Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik, dan Umar usai pula membersihkan tangannya dari tanah-tanah, Khalifah yang baru itu, mengganti sejumlah gubernur. Diantara pejabat baru yang dilantik itu, As-Samah bin Malik al-Khaulani yang bertanggung jawab atas seluruh Andalusia, yang sekarang adalah Spanyol, dan beberapa wilayah Perancis.
As-Samah bin Malik al-Khaulani bercita-cita menggambungkan daratan Andalusia (Spanyol) dengan Perancis. Maka, langkah pertama yang dilakukannya menaklukan Norbone, yang dekat dengan Spanyol. Pasukan Islam yang dipimpin Al-Khaulani itu menyisir pegunungan Pyrenees menuju kota Norbonne. Kota ini menjadi kunci untuk memasuki kota-kota Perancis lainnya.
Seperti biasanya pasukan Islam sebelum menaklukan kota itu, memberikan pilihan kepada penduduk, mereka memeluk Islam atau membayar jizyah. Tetapi mereka menolak untuk memeluk Islam dan membayar jizyah. Karena mereka menolak, perang tak dapat dielakkannya, dan kota itu dikepung selama empat pekan, dan akhirnya menyerah, sesudah terjadi pertempuran yang sangat dahsyat yang belum pernah terjadi di sepanjang sejarah Eropa.
Sasaran berikutnya adalah Toulouse, yang menjadi ibukota Octania. Pasukan Islam yang sudah berada di dekat wilayah itu, masuk dengan menggunakan senjata yang belum pernah mereke kenal, dan hampir kota jatuh ke tangan muslimin, tetapi terjadi peristiwa yang menghambat kemenangan.
Tatkala itu, Raja Octania yang mengunjungi para raja-raja di seluruh Eropa, mengajak mereka bergabung menghadapi pasukan Islam, yang dipimpin Al-Khaulani, yang sudah berada diambang pintu, dan mengancam Octania. Berkumpullah pasukan Salib yang berjumlah sangat besar. Untuk mengambarkan itu, sampai seorang sejarawan mengatakan, betapa gemuruh pasukan Salib itu, hingga debu-debu yang mengepul menutupi kota Rhone, siang yang terang oleh matahari itu, menjadi gelap akibat debu, dari kaki-kaki pasukan Raja Octania.
Perang yang tak terelakkan. Gemuruh perang begitu dahsyat. Dua pasukan bertemu, dan As-Samah bin Malik Al-Khaulani selalu berada di garis depan. Pada pertempuran yang sangat dahsyat itu, As-Samah terkena panah, dan robohnya panglima tertinggi yang perkasa itu, dan menemui syahidnya.
Saat terdengar panglimanya As-Samah gugur, pauskan Islam menjadi kocar-kacir, di saat itu pula, tampil, seorang generasi tabi’in, yang ada, mengambil alih kepeimpian dari As-Samah, yang tangguh dan disegani bernama Abdurrahman al-Ghafiqi. Dengan lahirnya panglima perang yang baru itu, berhasil di selamatkan pasukan Islam, yang mengalami kepanikan itu. Mereka yang tercerai-berai.
Abdurrahman Al-Ghafiqi itu mempunyai cita-cita yang sama dengan tokh-tokoh Islam lainnya, seperti Musa bin Nushair hingga As-Samah bin Malik Al-Khaulani, yang ingin menaklukkan Spanyol, Perancis, Italia, Jerman, hingga Konstantinopel. Dan, Abdurrahman yakin akan dapat mewujudkan impiannya itu.
Suatu senja Abdurrahman Al-Ghafiqi mengundang seorang dzimmi keturunan Perancis yang terikat dengan perjanjian. Lalu, Abdurrahman bertanya, “Mengapa raja kalian, Carll tidak turun untuk membantu raja-raja lainnya yang berperang dengan kami?”, tanya Al-Ghafiqi. “Wahai gubernur, anda telah menepati janji kami. Anda berhak kami percayai”, ucap seorang dzimmi itu.
Musa bin Nushair telah berhasil menaklukkan Spanyol. Kemudian ingin melanjutkan perluasan wilayahnya sampai menjangkau Perancis, melewati Pyerennes. Perjuangan itu berlanjut, yang akan menentukan masa depan Islam di daratan Eropa.
Sebuah dialog raja-raja kecil dengan Maha Raja, yang mempunyai pengaruh di daratan Eropa, dan dia berkata, “Masalah ini sudah saya pikirkan secara mendalam dan saya mengira untuk saat ini tidak perlu menghadapi mereka secara langsung.Mereka orang-orang yang bermental baja. Mereka kaum yang memiliki aqidah yang kokoh, sehingga tak menghiraukan jumlah dan senjata. Mereka mempunyai iman dan kejujuran yangjauh lebih berharga dibandingkan senjata, pakaian perang atau kuda. Karena itu, lebih baik kita membiarkan mereka, kaum muslimin terus menumpuk harta dan ghanimah, lalu membangun rumah dan gedung –gedung serta melipatgandakan jumlah budak laki-laki dan perempuan dan lihatlah, mereka akan berebut kekuasaan. Pada saat itu itu kita bisa menaklukan mereka dengan mudah tanpa banyak pengorbanan”, ucap Maha Raja itu.
Mendengar dialog itu, Abdurrahman Al-Ghafiqi sangat terkejut. Betapa, beliau sudah mengelilingi kota-kota dan desa-desa di wilayah Andalusia, dan mendidik mereka dengan iman, tetapi Maha Raja itu, masih dapat mengatakan akan mengalahkannya, hanya akibat umat Islam terlena oleh banyaknya ghanimah.
Tetapi, sejarah menyatakan, dan inilahnya pahitnya kehidupan, yang tak dapat ditolak oleh siapapun, perjalanan kehidupan kaum muslimin selalu ada orang-orang yang terlena oleh kehidupan dunia. Ini terjadi yang tidak dapat dipungkiri. Seandainya bukan harta dan kehidupan duniawi, daratan Eropa sudah menjadi negeri-negeri muslim.
Pengkhianatan itu, pertama terjadi oleh Utsman bin Abi Nus’ah, amir penjaga perbatasan yang dipercaya oleh panglima perang Abdurrahman Al-Ghafiqi. Padahal, ia dipercaya untuk memimpin pasukan inti diperbatasan untuk menghadapi musuh. Tetapi, pilihan Abdurrahman itu keliru, dan orang yang dipercaya itu, berkhianat, dan karena ambisinya itu, dan lalu menculik puteri Raja Octania, yang bernama Minnin. Minnin terkenal sangat jelita, berdarah bangsawan, masih belia, dan seba g ai penghuni istana. Puteri Minnin inilah yang membuat Utsman bin Abi Nus’ah tergila-gila.
Utsman bin Abi Nus’ah yang dipercaya oleh Abdurrahman Al-Ghafiqi , akibat sudah tergila-gila dengan kecantikan puteri Minnin, kemudian ia membuat perjanjian perdamaian dengan Raja Octania. Dan, Utsman memberi jaminan keamanan kepada Raja Octania.
Begitulah, ketika datang perntah untuk menyerbu wilayah Octania, maka Utsman bin Abi Nus’ah menjad bimbang untuk melaksanakannya. Kabar yang sampai ke telinga Abdurrahman Al-Ghafiqi menjadi sangat marah, akibat pengkhiatan yang dilakukan oleh Utsman. “Perjanjian yang anda lakukan yang anda lakukan tidak sah, maka tidak ada keharusan prajurit Islam mentaatinya”, ujar Abdurrahman.
Selanjutnya, panglima perang Islam, itu mengirimkan pasukan untuk menangkap pengkhianat Utsman bin Abi Nus’ah. Pasukan yang diutus itu berhasil menaklukan dengan pertempuran diatas gunung, dan Utsman bin Nus’ah dengan berbagai tusukan pedang. Sedangkan Minnin, puteri Raja Octania itu tertangkap, kemudian di kirim ke Damaskus. Saat melihat puteri Minnin itu, Abdurrahman Al-Ghafiqi memalingkan wajahnya, karena puteri itu terlalu cantik.
Perang terus berkecamuk memperebutkan wilayah Perancis, yang luas, dan pasukan berhasil menguasai kota-kota penting. Raja Octania yang lolos itu, kembali berperang dengan jumlah pasukan yang lebih besar. Kemenangan oleh pasukan Islam, memasuki wilayah Perancis, seperti Lyon, Boerdeaux, yang merupakan pintu masuk yang sangat penting mengausai Perancis, dan hanya seratus mil lagi masuk kota Paris. Dunia Eropa sangat tersentak melihat Perancis selatan telah dikuasai pasukan Islam yang dipimpin Abdurrahman al-Ghafiqi.
Ghanimah begitu melimpah. Bangunan tenda-tenda yang besar- besar sudah tidak dapat menampung lagi ghanimah dari haisl peperangan itu. Tetapi, panglima perang Abdurrahman Al-Ghafiqi terus bertempur dengan gagah berani, menyapu pasukan Salib, yang ingin mencoba mengahalanginya. Dan, akhirnya kota Tours, kota Perancis yang sangat indah, penuh dengan bangunan tua yang sangat indah dan menyimpan berbagai benda yang berharga.
Ketika itu, saat bulan Sya’ban 104 Hijriyah Abdurrahman Al-Ghafiqi bersama paskan yang perkasa memasuki kota Poiters. Mereka disambut oleh pasukan besar Eroa yang dipimpin oleh Karel Martel. Perang yang amat dahsyat antara kedua belah pihak, yang kemudian dikenal dengan : Balad Syuhada’. Karena banyaknya para syuhada yang gugur dimedan perang ini.
Saat inilah pasukan Islam mulai terpecah konsentrasinya, apalagi Karl Martel menyiasati dengan melalui belakang menyerang tempat-tempat penyimpanan ghonimah, tenda-tenda yang ada di tempat padang yang sangat luas itu dibakar oleh pasukan Karel Martel.
Sungguh sangat getir, ketika itu pasukan Islam dalam puncak kejayaannya, punggung-punggung pasukan Islam sudah terlalu berat dengan beban ghanimah, yang memberatkan gerak langkah mereka. Mereka tergoda dengan ghanimah, yang menyebabkan melupakan tujuan mereka yang ingin mendapatkan kejajaan Islam, dan kemuliaan di sisi-Nya. Di saat itu pula, tiba-tiba panglima perang Abdurrahman Al-Ghafiqi tewas terkena panah.
Inilah menandakan akhir dari satu episode perjuangan yang penuh dengan kemenangan, akhirnya harus kandas, karena godaan duniawi. Andai kata mereka tidak te rgoda oleh duniawi, mungkin sekarang seluruh daratan Eropa sudah menjadi milik kaum muslimin, sehingga pemeluknya bebas melaksanakan syariah-Nya. Tapi, Allah memberikan ujian kepada kaum muslimin, dan gagal, menghadapi ujian itu. Wallahu’alam.
Al-‘Abid Al-Haramain, Fudhail bin Iyadh
Rabu, 26/05/2010 14:01 WIB | email | print | share
Beliau bernama Abu Ali Al-Fudhail bin Iyadh bin Mas’ud bin Bisyr At-Tamimi Al-Yarbu’i. Ulama yang senantiasa begitu akrab dengan Masjidil Haram ini dikenal dengan nasihat-nasihatnya yang begitu menyentuh hati. Matanya memancarkan cahaya keteduhan dari kedekatannya kepada Allah swt.
Ulama yang seangkatan masa hidupnya dengan Imam Malik, Sufyan bin ‘Uyainah, dan Abdullah bin Al-Mubarak ini lahir di Samarkand pada sekitar tahun 105 Hijriyah dan tumbuh dewasa di kota Abyurd, antara daerah Sarkhas dan Nasa. Setelah belajar hadits di Kufah, beliau menetap di Makkah.
Abu Ali, begitu panggilan akrab Fudhail bin Iyadh, selalu akrab dengan lingkungan Masjidil Haram di Makah dan Masjid Nabawi di Madinah. Masyarakat sezamannya yang ingin mendapatkan nasihat dan ilmu hadits dari beliau tidak begitu sulit mencari keberadaan beliau. Di dua tempat itulah beliau selalu berada.
Ciri khas lain dari Fudhail adalah wajahnya yang menampakkan seperti bekas menangis karena kesedihan yang teramat dalam. Fudhail bin Iyadh seperti digambarkan oleh Abdullah bin Al-Mubarak, “Jika aku melihat Al-Fudhail, muncul rasa sedih dalam diriku. Kesedihan yang tiba-tiba kurasakan begitu lain dari yang lain. Aku tiba-tiba seperti benci terhadap diriku sendiri. Maka saat itu juga, aku tidak bisa lagi membendung isak tangisku.”
Apabila Al-Fudhail menyebut nama Allah, atau ada seseorang yang menyebutkannya nama Allah, atau mendengar ayat-ayat suci Alquran dibacakan seseorang, maka akan terlihat perubahan wajahnya yang tiba-tiba menampakkan kesedihan. Air matanya langsung berlinang, sehingga membuat orang-orang di sekitarnya menjadi terharu.
Sosok Fudhail memberikan sebuah cerminan tentang kelembutan dan kejernihan hati seseorang yang terus terpoles dengan kekhusyukan zikrullah. Hatinya begitu sensisitif dengan alunan tilawah Quran dan kekhusyukan ibadah. Tak ada respon lain dalam dirinya kecuali isak tangis yang tak lagi tertahan.
Seorang ulama yang bernama Ishaq bin Ibrahim Ath-Thabari pernah menuturkan. “Aku belum pernah melihat seseorang yang lebih memperlihatkan rasa takutnya kepada Allah dan tidak berharap sesuatu kepada manusia, selain Al-Fudhail. Ketika beliau membaca Alquran, dibacanya firman Allah itu dengan lambat, syahdu, dan begitu menyentuh hati. Seolah, beliau sedang berbicara dengan seseorang. Ketika beliau membaca ayat-ayat tentang surga, beliau baca ayat itu berulang-ulang, seraya memohon doa kepada Allah untuk bisa mendapatkannya.”
Seseorang pernah berkunjung kepada Al-Fudhail untuk mendapatkan nasihat. Beliau pun mengungkapkan, “Kosongkan hatimu dari yang lain kecuali rasa takut dan tangismu kepada Allah swt. Jika keduanya sudah bersarang di hatimu, maka takut dan tangis itu akan membentengimu dari melakukan maksiat dan menjauhkanmu dari api neraka.”
“Jika kamu merasa begitu berat untuk menunaikan qiyamul lail dan berpuasa di siang hari, maka ketahuilah, sesungguhnya dirimu telah terbelenggu oleh dosa dan maksiat yang kamu perbuat.”
Nasihat lain yang pernah beliau sampaikan adalah Tidak perlu dikhawatirkan seseorang jika telah berkumpul tiga hal dalam dirinya. Ia bukan ahli bid’ah, tidak mengumpat dan mencela ulama salaf, dan terakhir, tidak bersekutu dengan penguasa.
Jika malam mulai datang, Al-Fudhail bin Iyadh biasa menggelar sejadahnya untuk menunaikan qiyamul lail. Ia terus dalam keadaan shalat, hingga rasa kantuk yang tak tertahankan. Ia pun berbaring sebentar di atas sajadah itu, untuk kemudian kembali shalat. Ketika lagi-lagi datang kantuk yang tak tertahankan, ia kembali berbaring sebentar. Kemudian, ia pun kembali dalam keadaan shalat. Begitulah seterusnya, hingga datang waktu Subuh.
Ulama yang wafat di Makkah pada tahun 186 Hijriyah ini pernah menyampaikan sebuah nasihat yang begitu dalam.
”Manusia paling berdusta adalah mereka yang mengulangi perbuatan dosa yang pernah dilakukannya. Manusia paling bodoh adalah mereka yang menunjukkan amal kebaikannya. Manusia yang paling dekat dengan Allah adalah mereka yang paling takut kepada-Nya. Manusia tidak akan sempurna sehingga agamanya mampu mengalahkan nafsunya. Dan, manusia tidak akan binasa sehingga nafsunya mengalahkan agamanya.”
muhammadnuh@eramuslim.com
sumber: Min A’lam As-Salaf, karya Syaikh Ahmad Farid.
Pelajaran Konsistensi dari Seorang Al-Auza’i
Rabu, 12/05/2010 09:13 WIB | email | print | share
Namanya Abdurrahman bin Amr bin Muhammad Asy-Syami Al-Auza’i. Ulama yang lahir pada tahun 88 Hijriyah ini biasa disebut dengan Al-Auza’i. Dialah anak yatim yang tumbuh di sekitar wilayah Damaskus yang kemudian menjadi panutan masyarakat sezamannya.
Beliau terkenal dengan ulama yang begitu wara’ dalam hal apa pun yang akan menjadi konsumsi keluarganya.
Suatu kali, ada seorang nasrani yang memberinya hadiah sekantong madu. Rupanya, si nasrani memberi hadiah ke Al-Auza’i bukan dengan sesuatu yang gratis. Ia ingin agar ulama yang sangat disegani penguasa waktu itu memberinya sebuah memo untuk disampaikan kepada sang penguasa. Dari memo itulah, ia berharap mendapat sesuatu dari sang penguasa.
Al-Auza’i mengatakan, “Maukah kamu aku tuliskan sebuah memo untuk kamu bawa kepada penguasa Ba’labak, sementara sekantong madu ini kukembalikan kepadamu?”
Tentu saja, tawaran ini diterima si nasrani. Ia pun gembira dengan apa yang dilakukan Al-Auza’i. Dari memo yang ditulis Al-Auza’i, si nasrani mendapat hadiah dari sang penguasa sebesar 30 dinar, atau setara dengan 40 juta rupiah.
Sebuah hadiah pernah juga disampaikan seorang yang datang dari Mekah dengan maksud untuk mendapatkan ilmu hadits dari Al-Auza’i. Ia bernama Abu Marhum.
Mendapati ini, Al-Auza’i langsung mengatakan, “Wahai Abu Marhum, jika kamu ingin aku menerima hadiah darimu, maka tak satu huruf pun aku berikan kepadamu. Ambillah kembali hadiah ini, maka aku akan menyampaikan beberapa hadits kepadamu.”
Pernah suatu kali, seorang utusan penguasa Abdullah bin Ali datang meneror Al-Auza’i. Ia membentak-bentak sang ulama sambil menyampaikan beberapa pertanyaan untuk melihat sikap asli dari Al-Auza’i.
”Wahai Abdurrahman, apa pendapatmu tentang pembunuhan yang terjadi pada Ahlul Bait?” bentak sang utusan sambil memukulkan tongkatnya ke tanah.
Dengan tenang Al-Auza’i menjawab, ”Muhammad bin Marwan telah bercerita kepadaku dari Mathraf bin Asy-Syukhair dari Aisyah dari Rasulullah saw., beliau bersabda, Tidak halal membunuh seorang muslim kecuali tiga perkara.” (ucap beliau hingga hadits tersebut tuntas dibacakan)
Sang utusan bertanya lagi, ”Ceritakan kepadaku tentang khalifah, yaitu wasiat Rasulullah saw. kepada kami?”
Al-Auza’i menjawab, ”Kalau khalifah adalah wasiat Rasulullah, maka Ali r.a. tidak akan membiarkan orang lain melanggarnya.”
Terakhir, utusan itu mengatakan lagi, ”Apa pendapatmu tentang harta Bani Umayah?”
Dengan tanpa rasa sungkan, Al-Auza’i mengatakan, ”Apabila harta itu halal bagi mereka, maka haram bagimu. Jika harta itu haram buat mereka, maka akan lebih haram lagi jika kamu mengambilnya.”
Seorang ulama yang bernama Adz-Dzahabi mengomentari peristiwa teror itu dengan mengatakan, ”Abdullah bin Ali adalah seorang raja yang zalim, sewenang-wenang dan suka menumpahkan darah. Kekuasaannya sangat kuat. Meskipun begitu, Al-Auza’i tidak merasa gentar untuk mengatakan sebuah kebenaran.”
Ada begitu banyak nasihat yang disampaikan Al-Auza’i kepada murid-murid dan orang sezamannya. Di antaranya, ”Hendaknya kalian tetap mengikuti ulama-ulama salaf, meskipun orang-orang meninggalkanmu. Hendaknya, kalian tetap mengikuti pendapat-pendapat mereka, meskipun orang-orang mengejekmu. Sesungguhnya, kebenaran akan menjadi nyata, dan kamu berada di jalan yang lurus.”
Ulama yang wafat pada tahun 157 Hijriyah ini juga pernah berpesan, ”Ulama-ulama salaf tidak membedakan antara iman dan perbuatan, karena iman bagian dari perbuatan dan perbuatan bagian dari iman. Barangsiapa beriman dengan lisannya, diakui dengan hati dan diaktualisasikan dengan perbuatannya, maka keimanannya telah benar. Dan siapa yang beriman dengan lisannya, namun hatinya tidak mengakui dan perbuatannya pun tidak sejalan dengan keimanan yang ia ucapkan, maka keimanan seperti itu tidak diterima di sisi Allah, dan di akhirat ia termasuk orang-orang yang merugi.”
(muhammadnuh@eramuslim.com, disarikan dari kitab Min A’lam As-Salaf, oleh Syaikh Ahmad Farid)
Bercermin Pada Salaf Lainnya
Serahkan Kepada Orang Shaleh
Kamis, 01/04/2010 14:11 WIB | email | print | share
Debu-debu bertebangan. Mengepul diudara. Derap ribuan kuda dan balatentara yang terus berlari menuju arah musuh. Dengan suatu tekad kemenangan. Tak peduli. Terik matahari yang membakar. Mereka terus menuju medan perang. Menghadapi pasukan Konstatinopel. Diujung pandang mata mereka melihat kekuatan musuh.
Dan, pasukan Islam dipimpin Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik. Di tengah-tengah pasukan Islam itu, ada seorang terkenal pemberani, yang bernama Abu al-Miqdam Raja’ bin Haywah rahimahullah. Mereka ingin menebus kekalahan yang mereka derita.
Ketika menjelang petang pasukan Islam membuat kemah di tanah datar yang penuh dengan rerumputan di bumi Qinsirin (Syria). Hari Jum’at Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik, yang mengenakan pakaian sutera hijau, dan bercermin di depan kaca, dan bergumam : “Wallahi. Aku seorang raja yang masih muda”. Lalu, Sulaiman pergi shalat. Orang-orang pun melakukan shalat Jum’at. Usai shalat, Sulaiman tak segera pulang, karena sakit. Ketika sakitnya kian berat, ia menulis surat kepada anaknya, yang belum dewasa.
Ketika Sulaiman sedang menulis surat, masuklah Raja’ bin Haywah rahimahullah menemuinya. “Apa yang engkau lakukan, wahai Amirul Mukminin?”, tanya Raja’. Sulaiman yang dalam kondisi sakit itu, menjelaskan kepadanya. Dan, Raja berkata : “Diantara hal yang dapat melindungi khalifah di dalam kuburnya adalah menyerahkan jabatan khalifah kepada seorang pria shaleh untuk memimpin kaum muslimin”, ungkap Raja’. Selanjutnya, Khalifah Sulaiman berkata : “Kalau begitu akau akan beristhikarah terlebih dahulu kepada Allah dan memikirkannya”.
Setelah beberapa hari Khalifah membakar surat yang telah ditulisnya, yang pernah akan diberikan kepada anak yang belum baligh. Dan, Khalifah Sulaiman memanggil Raja’ bin Haywah, yang sedang berada di kemah. “Bagaimana menurutmu tentang Dawud bin Sulaiman?”, tanya Khalifah Sulaiman. “Dia tidak ikut bersamamu ke Konstantinopel, dan engkau tidak tahu apakah dia hidup atau mati?”, jawab Raja’ bin Haywah. “Kalau begitu, siapa menurutmu?”, tanya Sulaiman. “Terserah kepadamu, wahai Amirul Mukminin”, jawab Raja’. Raja’ tida mau menjawab dengan tegas, karena ingin mengetahui siapa yang akan disebut oleh Khalifah Sulaiman. “Bagaimana kalau Umar bin Abdul Aziz?”, tanya Sulaiman.”Yang aku ketahui, demi Allah, dia orang yang sangat baik, memiliki keutamaan dan muslim”, ujar Raja’ bin Haywah. Lalu, Khalifah Sulaiman berkata :”Wallahi. Ia memang seperti itu”.
Namun, Sulaiman tak ingin Umar bin Abdul Aziz sebagai pemimpin, sementara Sulaiman tidak mengangkat penggantinya. Ia takut akan adanya fitnah dan bencana. Mereka tak ingin Umar bin Abdul Aziz berkuasa selamanya. Maka, Sulaiman mengangkat Yazid bin Abdul Malik,sebagai pengganti Umar bin Abdul Aziz. Saat itu, lalu Sulaiman menulis surat : “Bismillahirrahmanirrahim. Dari Abdullah Sulaiman bin Abdul Malik Amirul Mukminin untuk Umar bin Abdul Aziz. Sesungguhnya, aku telah mengangkatmu sebagai khalifah penggantiku. Setelah itu, Yazid bin Abdul Malik. Dengarkanlah dan patuhilah serta bertaqwalah kepada Allah. Janganlah kalian berselisih, karena kalian akan menjadi mangsa”. Usai menulis surat itu, ia menyuruh Ka’ab bin Hamid al Abasi, Kepala Kepolisian untuk mengumpulkan seluruh keluarganya.
Berkumpulah seluruh keluarganya. “Kami akan segera datang dan mengucapkan salam kepada Amirul Mukminin”, ujar Raja’ bin Haywah. Keluarga Sulaiman itu satu demi mereka berbaiat. “Hendaklah kalian memba’iat orang yang aku sebutkan di dalamnya”, ujar Sulaiman.Sulaiman berkata sambil menoleh kepada Raja’ yang memegang surat wasiat itu. Setelah keluarga dan orang-orang bubar, datanglah Umar bin Abdul Aziz rahimahullah, dan kepada Raja’ bin Haywah, ia berkata : “Aku takut bahwasanya aku akan dibebani tugas itu.
Karena itu, aku meminta kepadamu karena Allah, demi cinta dan kehormatanku, beritahukanlah tentang urusan itu kepadaku supaya sekarang juga aku mengundurkan diri, sebelum datang satu akibat buruk yang tidak sanggup aku rasakan, karena ketidak mampuanku menanggung tugas itu”, ungkap Umar. Kemudian Raja’ bin Haywah menjawabnya : “Wallahi. Aku tidak akan memberitahukan isi surat itu kepadamu sekalipun satu hurup”. Sampai akhirnya Umar bin Abdul Aziz pulang dengan rasa jengkel.
Tak lama Khalifah Sulaiman mangkat. Berkumpullah kaum muslimin di masjid Dabiq untuk mendengarkan isi surat yang ditulis Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik, berkenaan dengan khalifah penggantinya, yang belum diketahui namanya, selain Raja’ bin Haywah rahimahullah. Kemudian, surat itu dibacakan, dan orang-orang mengetahui pengganti Khalifah Sulaiman adalah Umar bin Abdul Aziz, kedua kelompok mereka merasa terpukul oleh isi surat itu. Kelompok pertamaadalah kelompok bani Marwan yang jabatan kekhalifahan lepas dari tangannya. Kelomok kedua, ialah Umar bin Abdul Aziz yang tidak menginginkan jabatan itu.
egitulah sikap pemilik keshalehan.Mereka tidak menyukai jabatan karena tanggung jawab yang dipikulnya sangat berat.
Keputusan itu sungguh sangat memberatkan Umar bin Abdul Aziz. Sampai-sampai ia tidak mampu bangun dari tempat duduknya, sehingga ia harus dipapah oleh Raja’ bin Haywah untuk naik mimbar, ini sebagai awal babak baru sejarah perjalanan kaum muslimin. Umar bin Abdul Aziz adalah ahli ibadah, zuhud, dan wara’. Sungguh babak yang paling mengesankan dalam sejarah kaum muslimin. Alangkah indahnya akhir perjalanan Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik. Itu adalah kebaikan yang paling agung. Karena ia dapat menyerahkan kekuasaannya kepada orang yang shaleh, yang memiliki sifat-sifat seperti ahli ibadah, zuhud, dan wara’. Semuanya itu, tak lepas dari jasa-jasa dari Abu Miqdam Raja’ bin Haywah al Kindi al Azdi.
Tentu, yang tak kalah pentingnya, pribadi dari Raja’ bin Haywah, yang sangat shaleh. Bersyukur Khalifah Sulaiman mempunyai seorang pejabat (wazir), yang amat thaat kepada Allah Azza Wa Jalla. Raja’ bin Haywah merupakan pemimin penduduk Syam. Ibnu Aun mengatakan : “Tiga orang yang tidak akau jumpai seperti mereka,bertemu lalu ssaling member wasiat, ‘Ibnu Sirin di Iraq, Al-Qasim bin Muhammad di Hijaz, dan Raja’bin Haywah di Syam”. Nuaim bin Sallamah menempatkan Raja’ bin Haywah dalam barisan para imam, panutan dan pemilik aneka keistemewaan serta sifat-sifat terpujji. Nuaim berkata : “Tak ada seoranngpun dari penduduk negeri Syam yanglebih aku sukai untuk aku teladani selain Raja’ bin Haywah.
Suatu pagi Raja’ bin Haywah berada di Istana Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik. Ketika Alla’ bin Ru’yah menghadapnya, Raja’ bin Haywah bergegas menyambutnya, lalu berkata : “Amirul Mukminin hari ini telah mengangkat Ibnu Muahib sebagai hakim. Sekiranya aku disuruh memilih antara menjabat jabatan itu dengan digotong ke kuburan (mati), aku lebih memilih dikgotong ke kuburan”, ujar Raja’ bin Haywah. Pernyataan Haywah ini membuat Khalifah Sulaiman menjadi tercenung,ketika mengangkat Muahib.
"Adakah pilihanku ini benar-benar orang yang amanah?", kata Sulaiman.
Bandingkan dengan kehidupan orang-orang sekarang yang berlomba mengejar kekuasaan, yang dengan segala cara, tanpa mempedulikan akhlak Islami. Padahal, kekuasan yang dikejar itu, tak ada artinya apa-apa dibandingkan dengan kehidupan yang telah dijanjikan oleh Allah Rabbul Alamin. Tapi, manusia masih terus berkerumun di sekitar kekuasaan, tanpa dapat berbuat apa-apa dengan kekuasaan yang sudah dimilikinya. Wallahu ‘alam.
Bercermin Pada Salaf Lainnya
Mereguk Mata Air Sabar 'Urwah bin Zubair
Kamis, 11/03/2010 15:30 WIB | email | print | share
Abu Abdillah atau Urwah bin Zubair bin Al-Awwam adalah di antara sederet tabiin yang memiliki kucuran mata air hikmah untuk generasi umat sesudah beliau. Adik dari Abdullah bin Zubair ini memberikakan pelajaran tentang nilai sebuah kesabaran.
Suatu hari cucu Abu Bakar Ash-shiddiq ini mendapat tugas untuk menemui khalifah Al-Walid bin ‘Abdil Malik di ibukota kekhalifahan, yaitu Damaskus di negeri Syam. Bersama dengan rombongan, ‘Urwah akan menempuh perjalanan dari Madinah menuju Damaskus yang saat ini menjadi negara Yordania.
Ketika melewati Wadil Qura, sebuah daerah yang belum jauh dari Madinah, telapak kaki kiri beliau terluka. Tabiin yang lahir pada tahun 23 Hijriyah ini menganggap biasa lukanya. Ternyata, luka tersebut menanah dan terus menjalar ke bagian atas kaki Urwah.
Setibanya di istana Al-Walid, luka di kaki kiri Urwah tersebut sudah mulai membusuk hingga betis. Urwah pun mendapatkan pertolongan dari Khalifah Al-Walid yang memerintahkan sejumlah dokter untuk memberikan perawatan.
Setelah melalui beberapa pemeriksaan, para dokter yang memeriksa salah seorang murid dari Aisyah binti Abu Bakar ini mempunyai satu kesimpulan. Kaki kiri Urwah harus diamputasi, agar luka yang membusuk tidak terus menjalar ke tubuh.
Urwah menerima keputusan tim dokter ini. Dan dimulailah operasi amputasi. Seorang dokter menyuguhkan Urwah semacam obat bius agar operasi amputasi tidak terasa sakit. Saat itu, Urwah menolak dengan halus.
Beliau mengatakan, “Aku tidak akan meminum suatu obat yang menghilangkan akalku sehingga aku tidak lagi mengenal Allah, walaupun untuk sesaat.”
Mendengar itu, para dokter pun menjadi ragu untuk melakukan amputasi. Saat itu juga, Urwah mengatakan, “Silakan kalian potong kakiku. Selama kalian melakukan operasi, aku akan shalat agar sakitnya tidak sempat kurasakan.”
Mulailah tim dokter memotong kaki Urwah dengan gergaji. Selama proses operasi itu, tabiin yang bisa mengkhatamkan Alquran selama dua hari ini tampak khusyuk dan tegar. Tidak sedikit pun suara rintihan keluar dari mulut beliau.
Melihat pengalaman yang tidak mengenakkan dari seorang cucu sahabat terkenal itu, khalifah Al-Walid menghampiri Urwah yang masih terbaring. Ia mencoba untuk menghibur.
Tapi, dengan senyum Urwah mengucapkan sebuah kalimat, “Ya Allah, segala puji hanya untuk-Mu. Sebelum ini, aku memiliki dua kaki dan dua tangan, kemudian Engkau ambil satu. Alhamdulillah, Engkau masih menyisakan yang lain. Dan walaupun Engkau telah memberikan musibah kepadaku namun masa sehatku masih lebih panjang hari-hari sakit ini. Segala puji hanya untuk-Mu atas apa yang telah Engkau ambil, dan atas apa yang telah Engkau berikan kepadaku dari masa sehat.”
Mendengar itu, Khalifah Al-Walid bereaksi, “Belum pernah sekali pun aku melihat seorang tokoh yang kesabarannya seperti dia.”
Beberapa saat setelah itu, tim dokter memperlihatkan potongan kaki yang diamputasi itu kepada Urwah. Melihat potongan kakinya, beliau mengatakan, “Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui, tidak pernah sekalipun aku melangkahkan kakiku itu ke arah kemaksiatan.”
Ujian yang Allah berikan kepada Urwah tidak sampai di situ. Malam itu juga, bersamaan dengan telah selesainya operasi pemotongan kaki, Urwah mendapat kabar bahwa salah seorang putra beliau yang bernama Muhammad -putra kesayangannya- meninggal dunia. Muhammad meninggal karena sebuah kecelakaan: ditendang oleh kuda sewaktu sedang bermain-main di dalam kandang kuda.
Dalam keheningan malam itu, Urwah berucap pada dirinya sendiri, “Segala puji hanya milik Allah, dahulu aku memiliki tujuh orang anak, kemudian Engkau ambil satu dan masih Kau sisakan enam. Walaupun Engkau telah memberikan musibah kepadaku, hari-hari sehatku masih lebih panjang dari masa pembaringan ini. Dan walaupun Engkau telah mengambil salah seorang anakku, sesungguhnya Engkau masih menyisakan enam yang lain.”
Kedekatan Urwah bin Zubair dengan doa kepada Allah memang sudah menjadi karakter dalam kehidupnya. Suatu kali, ia pernah mendapati seorang yang shalat kemudian berdoa dengan tampak tergesa-gesa .
‘Urwah memberi nasihat kepada orang itu, “Wahai saudaraku, tidakkah engkau memiliki kebutuhan kepada Rabb-mu dalam shalatmu? Adapun aku, aku selalu meminta sesuatu kepada Allah, hingga jika aku menginginkan garam sekalipun.”
Selain doa, Urwah pun begitu dekat dengan Alquran. Sudah menjadi kebiasaan putera Asma bintu Abu Bakar ini membaca seperempat Alquran di siang hari, kemudian membaca seperempatnya lagi di saat shalat malam. Kebiasaan berlama-lama dalam shalat malam ini terus dilakukan hingga operasi amputasi yang ia alami. Karena sejak itu, ia tidak lagi bisa berdiri seperti sebelumnya.
Walaupun ketika ia melakoni di antara kesibukannya di sebuah kebun, Urwah selalu dekat dengan Alquran. Setiap kali masuk kebun, ia selalu membaca surah Al-Kahfi ayat 39.
Allah berfirman,
وَلَوْلَا إِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَاء اللَّهُ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ إِن تُرَنِ أَنَا أَقَلَّ مِنكَ مَالًا وَوَلَدًا
Dan Mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki kebunmu ‘Maa syaa Allaah, laa quwwata illaa billaah’ (sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah). Sekiranya kamu anggap Aku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan keturunan.” (Al Kahfi: 39)
Seperti itulah di anta hikmah yang diajarkan Urwah bin Zubair. Sabar dan yakin terhadap ayat-ayat-Nya, merupakan kunci sukses seseorang meraih kepemimpinan di dalam agama ini. Sebuah kepemimpinan dalam mengarahkan umat kepada jalan yang lurus sesuai dengan rambu-rambu agama yang telah digariskan oleh Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. (mnh/berbagai sumber)
Bercermin Pada Salaf Lainnya
Sedihnya Tertinggal Saat Perang Tabuk
Kamis, 04/02/2010 15:11 WIB | email | print | share
Kisah yang sangat memberi pelajaran yang terjadi di waktu awal dakwah Rasulullah Shallahu Alaihi Wassalam. Ketika Ibnu Ishaq bercerita, Abu Khaitsamah, adalah salah seorang dari Bani Salim yang tertinggal dari Rasulullah Shallahu Alaihi Wa Sallam dalam perang Tabuk, sampai Rasulullah Shallahu Alaihi Wa Sallam berangkat.
Di suatu cuaca sangat terik, Abu Khaitsamah pulang ke keluarganya, mak adia dapatkan kedua isterinya sedang berada di dinding pembatas kedua rumahnya, dan sedang menyirami rumahnya masing-masing. Kemudian, kedua isterinya mengambil air minum dan menyiapkan makanan untuk Abu Kaitsamah.
Ketika Abu Khaitsamah masuk, ia berdiri di depan pintu rumahnya sambil memandang ke sekeliling, kemudian berkata, “Rasulullah Shallahu Alaihi Wa Sallam kini sedang berada di bawah terik matahari, terpaan angin panas gurun, dan sengatan matahari, sedangkan Abu Khaitsamah di tempat yang sejuk, dengan air dingin dan makanan tersedia serta isteri yang cantik. Kebahagiaan macam apakah ini? Demi Allah, saya tidak akan masuk rumah salah satu dari kalian berdua,sehingga saya bertemu dengan Rasulullah Shallahu Alaihi Wa Sallam. Maka persiapkanlah bekal untukku”, tegas Khaitsamah.
Kemudian, ia menuju pancuran air dan berangkat keluar mencari Rasullullah Shallahu Alaihi Wa Sallam, maka ia menjumpai beliau sedang bertempur dalam perang Tabuk.
Ibnu Ishaq berkata, “Ketika itu Abu Khaitsamah bertemu Umair bin Wahab Al Jumahi di jalan yang juga sedang mencari Rasulullah Shallahu Alaihi Wa Sallam, ketika mereka mendekati Tabuk, Abu Khaitsamah berkata kepada Umair bin Wahab, “Sesungguhnya aku ini telah berdosa, maka kamu beoleh meninggakan aku sampai aku datang pada Rasulullah Shallahu Alaihi Wa Sallam, maka Umar pun meninggalkan Khaitsamah.
Sedangkan Khaitsamah berjalan sendirian sampai bertemu Rasulullah Shallahu Alaihi Wa Sallam di Tabuk. Ketika itu orang-orang melecehkan, “Ini dia seorang pahlawan telah datang”. Maka, Rasulullah Shallahu Alaihi Wa Sallam, menyuruh mendekat kepadanya. Ketika Abu Khaitsamah telah mendekat, orang-orang berkata, “Wahai Rasulullah, demi Allah dia ini adalah Khaitsamah”. Ketika Abu Khaitsamah menghentikan langkahnya, dan mengucapkan salam kepada Rasulullah Shallahu Alaihi Wa Sallam, maka Rasulullah bersabda, “Aku percaya kepadamu wahai Abu Khaitsamah”.
Kemudian, Abu Khaitsamah menceritakan perihal ketinggalan dirinya. Tidak seperti yang lain, Rasulullah Shallahu Alaihi Wa Sallam, berkata baik kepadanya, tidak memarahinya sekaligus mendoakannya. Ibnu Ishaq berkata, “Ada sekelompok orang manufik,diantara mereka adalah Makhsyan bin Humair,seorang lelaki dari Kabilah Asyja’, sekutu Bani Salamah, bersama Rasulullah Shallahu Alaihi Wa Sallam, berangkat ke Tabuk. Makhsyan berkata, “Apakah kamu kira memerangi Bani Ashfar sama seperti memerangi kabilah-kabilah lain? Demi Allah, besok kita akan seperti korban-korban dalam jeratan tali!”.
Maka Allah memberitahukan kepada Nabi-Nya tentang (hasutan) mereka, sehingga mereka kemudian datang kepada Rasulullah Shallahu Alaihi Wa Sallam meminta maaf. Maksyan bin Humair berkata, “Wahai Rasulllah, aku dan ayahku berhalangan”, Kemudian turunlah ayat Al-Qur’an, yang memaafkan :
“ … Jika Kami memaafkan segolongan daripada kamu (diantara mereka tobat) … (At-Taubah : 66)
Ibnu Ishaq berkata, ‘Mereka termasuk golongan yang dimaafkan. Kemudian Maksyan bin Humair mengubah namanya menjadi Abdurrahman bin Humair, dan memohon kepada Allah agar dijadikan oran yang mati syahid tanpa diketahui tempatnya.
Maka Maksyan pun terbunuh pada waktu perang Yamamah, dan tidak diketahui tempatnya”. Wallahu’alam.
Bercermin Pada Salaf Lainnya
|
![]() |